
Bahlul, dikenal sebagai seorang yang nyeleneh, aneh, dan berperilaku tak seperti manusia umumnya. Ia seringkali menyendiri, tinggal di kuburan, menggali pasir, bermain seperti anak kecil, dan lain sebagainya. Karena perilaku demikian, banyak orang yang menganggapnya bodoh, gila, dan tidak waras. Sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Uqala al-Majanin (Orang-Orang Gila yang Berakal).
Suatu hari, Khalifah Harun al-Rasyid berjalan-jalan di sekitar istananya. Tak lama kemudian dia sampai di sebuah kuburan. Di sana, Harun Al-Rasyid menyaksikan saudaranya sedang tidur-tiduran di kuburan. Khalifah Harun Al-Rasyid pun menegurnya.
“Hei, Bahlul saudaraku. Apa yang kamu lakukan disini (kuburan)?” tanya khalifah Harun Al-Rasyid. “Kenapa kamu disini, kapan kamu sadar (dari kegilaanmu).” ujarnya.
Mendengar panggilan itu, Bahlul dengan serta merta berlari dan kemudian naik ke atas pohon. Sesampai di atas, Bahlul berteriak dengan keras.
“Hei Harun, kapan kamu sadar (dari kegilaanmu)?” teriaknya.
Kesal dengan sapaan itu, Khalifah Harun al-Rasyid kemudian menegurnya lagi. “Kamu yang gila dengan kelakuanmu.” ujar Khalifah.
“Yang gila itu kamu, Harun.” kata Bahlul.
“Kenapa saya yang gila, bukankah kamu itu yang gila, tidur di kuburan, dan perilakumu seperti orang yang tidak waras.” kata Khalifah Harun Al-Rasyid.
“Itulah kenapa kamu yang gila.” teriak Bahlul dari atas pohon.
“Kenapa begitu?” Tanya khalifah.
“Kamu bermewah-mewah, membangun istana sebagus-bagusnya, menumpuk kekayaan, dan memamerkan ke mana-mana. Itulah kenapa kamu gila.” ujarnya.
Bahlul menambahkan, “Kamu menganggapku gila karena perilaku suka tidur di kuburan. Itu karena aku sadar, aku waras. Kamu menumpuk kemewahan dan membangun istana untuk duniamu, tapi kamu lupa, kehidupan akhiratmu. Sementara diriku, aku tidur di kuburan dan membangun kuburan, karena aku mempersiapkan untuk hidupku nanti,” ujarnya.
Mendengar hal itu, Khalifah Harun al-Rasyid menangis. Ia tersadar, ternyata apa yang dikatakan saudaranya, Bahlul, yang dikira gila, ternyata waras, berakal, dan sedang mempersiapkan kehidupan akhiratnya.
Bergetar Khalifah Harun al-Rasyid mendengarnya. Ia menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Lalu ia berkata; “Demi Allah, engkau benar, wahai saudaraku. Tambahkan nasihatmu, maka aku akan penuhi permintaanmu,” ujarnya.
Bahlul kemudian berkata: “Aku mempunyai tiga permintaan. Jika engkau bisa memenuhinya, maka aku akan sangat berterima kasih padamu.”
“Minta dan katakanlah,” kata Khalifah.
Pertama, kata Bahlul; “Tambahkan umurku.”
Khalifah menjawab: “Aku tak mampu memenuhinya karena itu bukan kewenanganku.”
Kedua, lanjut Bahlul; “Jaga diriku dari Malaikat Maut.”
Lagi-lagi, Khalifah Harun Al-Rasyid menjawab bahwa dirinya tak mampu melakukannya.
Dan ketiga, kata Bahlul, “Masukkan diriku ke dalam surga dan jauhkan diriku dari api neraka.”
Untuk ketiga kalinya, Khalifah Harun Al-Rasyid tak sanggup memenuhinya. Maka kemudian Bahlul berkata: “Ketahuilah wahai Harun, sesungguhnya dirimu adalah hamba dan bukan pemilik (Rabb), maka aku tidak memerlukan apapun dari dirimu.”
“Cukup bagimu dengan Al-Quran sebagai pedoman, niscaya hidupmu akan tenang.”
Bahlul al-Majnun bernama lengkap Abu Wahb Bahlul bin Amr as-Shairafi al-Kufi. Penisbatan terhadap al-Kufi menunjukkan bahwa ia dilahirkan di Kufah, Irak. Ia adalah seorang sufi yang hidup di masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Wafat pada tahun 197 H atau bertepatan pada tahun 810 M. Bahlul merupakan salah seorang sufi yang sekaligus penyair, ahli zuhud dan pendongeng.
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber : sajada.id dan islami.co.